Seputar mereka anak jalanan

Menteri Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia mendefinisikan anak jalanan sebagai berikut:
a. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.
b. Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarganya, meskipun hubungan tersebut tidak berlangsung dengan teratur.
c. Anak jalanan adalah anak-anak yang bersekolah dan anak putus sekolah yang meluangkan waktunya di jalanan tetapi mesih memiliki hubungan yang teratur dengan keluarganya.
Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meluangkan mayoritas waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, baik yang masih sekolah maupun tidak sekolah, dan masih memiliki hubungan dengan keluarganya maupun tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.
Survey yang dilakukan oleh Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pusat Penelitian Universitas Atmajaya pada tahun 1999 dalam kaitannya dengan pemetaan terhadap anak jalanan di mana hasilnya mengungkapkan bahwa mayoritas anak jalanan (60%) telah menjalani kehidupannya sebagai anak jalanan selama lebih dari 2,5 tahun, 17,4% di antaranya telah hidup di jalanan kurang dari 2 tahun, 6,8% bahkan telah menjalani kehidupan di jalanan selama 6-9 tahun, dan 6,8% lainnya bahkan telah hidup di jalanan selama lebih dari 10 tahun. Berdasarkan pengamatan NGO dan pekerja sosial, menunjukkan bahwa semakin lama seorang anak hidup di jalanan maka semakin sulit untuk mengentasnya dari jalanan. Jika seorang anak telah menjalani kehidupannya di jalanan lebih dari 2 tahun maka biasanya anak-anak tersebut telah menjadi terbiasa atau telah beradaptasi dengan kehidupan di jalanan. Anak-anak tersebut telah melakukan perubahan pada sikap dan perilaku sebagai upayanya untuk menghadapi kekerasan di jalanan, eksploitasi, dan mengatasi bahaya. Di samping situasi buruk yang telah akrab dengan kehidupan anak jalanan tersebut, biasanya anak-anak tersebut telah menikmati kehidupannya di jalanan. Pada umumnya, anak-anak tersebut merasa senang menikmati kebebasan yang dirasakan dalam kehidupan jalanan, mudah mendapatkan uang, menggunakan uang tersebut untuk kepentingan sendiri dengan semaunya, dan menikmati kehidupan kesehariannya dengan apa yang disukainya sepanjang hari.
Hasil survey juga menunjukkan bahwa beberapa aktivitas utama yang dijalani oleh anak-anak jalanan tersebut antara lain adalah sebagai pengamen (52,8%), pedagang asongan (19,3%), pemulung (8,7%), buruh angkut (3,1%), penyemir sepatu (3,1%), pengemis (2,5%), pengawas parkir (1,9%), broker (1,2%), menyewakan payung (1,2%), pencuci mobil (0,6%), and “joki” (biasanya berada di kawasan three-in-one pada jam-jam tertentu untuk mengurangi kemajetan lalu lintas) sebanyak 0,6%.
Penyebab Meningkatnya Kemiskinan dan Anak Jalanan
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan terhadap beberapa literatur maka penyebab meningkatnya kemiskinan dan anak jalanan cukup kompleks, di antaranya adalah dampak krisis moneter, kondisi keluarga, dan kebijakan pemerintah.
a. Krisis Moneter
Krisis ekonomi dan moneter yang melanda beberapa Negara, termasuk Indonesia, pada pertengahan tahun 1990-an, telah memberikan dampak negatif pada perkembangan berbagai sektor, meliputi sektor sosial, politik, dan budaya. Salah satu dampak yang paling utama adalah pada sektor sosial, terutama sektor pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari rendahnya tingkat pendidikan di beberapa Negara, terutama di wilayah pinggiran. Selain itu, pelayanan pendidikan juga belum dapat terdistribusikan secara merata, terutama pada pendidikan (sekolah) tingkat menengah ke atas. Hal ini disebabkan karena anggaran pendidikan di beberapa negara tersebut belum mencukupi kebutuhan pendidikan secara umum.
Dampak yang diakibatkan oleh krisis ekonomi dan moneter tersebut yang sangat nyata adalah meningkatnya kemiskinan sampai tiga kali lipat, yang artinya bahwa semakin banyak masyarakat yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Krisis ekonomi ini telah meningkatkan permasalahan di sektor sosial dan dan ini termanifestasikan dengan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan baik di kota besar maupun di wilayah pinggiran. Berdasarkan hasil survey dan pemetaan terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh Menteri Sosial yang bekerja sama dengan Pusat Penelitian Universitas Atmajaya menunjukkan bahwa dari 12 kota besar yang diteliti maka ditemukan sebanyak 39.861 anak jalanan (48% di antaranya menjalani kehidupan di jalanan setelah adanya krisis moneter pada tahun 1998). Survey ini juga mengungkapkan bahwa alasan turunnya anak-anak tersebut ke jalanan adalah karena anak-anak tersebut memang harus membantu perekonomian kedua orang tuanya dengan bekerja di jalanan (35%) atau membayar uang sekolah (27%). Di samping itu, survey juga mengungkapkan bahwa hampir separuh dari anak-anak tersebut (44%) ternyata masih duduk di bangku sekolah, sebanyak 83% masih tinggal dengan orang tuanya, dan 13% di antaranya merupakan anak-anak yang telah putus sekolah.
b. Kondisi Keluarga
Krisis moneter memang dapat dijadikan sebagai alasan utama semingkatnya kemiskinan di Indonesia di mana pada akhirnya meningkatkan jumlah keluarga miskin. Dengan meningkatnya keluarga miskin maka kecenderungan akan peningkatan anak jalanan juga mengalami peningkatan. Hal ini karena seorang anak turun ke jalan memang memiliki beberapa alasan, di mana salah satu di antaranya adalah kondisi keluarga.
Penelitian mengungkapkan bahwa pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga miskin. Selengkapnya profil keluarga anak jalanan adalah:
1) Sebanyak 75% anak jalanan berasal dari keluarga yang memilki anak lebih dari dua. Bahkan dari 128 keluarga yang disurvey terungkap bahwa jumlah anggota keluarganya adalah sebanyak 2 – 13 orang, dengan rata-rata tanggungan anak sebanyak 5,91 (dibulatkan menjadi 6). Hal ini melebihi hasil pendataan Susenas tahun 2001 yang menyebutkan bahwa rata-rata tanggungan keluarga adalah sebanyak 4,2.
2) Sebanyak 90% anak jalanan yang disurvey memiliki keluarga yang lengkap, suami, isteri, dan anak-anak. Sementara sisanya tinggal dengan keluarga yang tidak lengkap (suami atau isteri bercerai atau meninggal). Selain itu, sebanyak 3% anak jalanan tersebut tinggal bersama orang tua tiri, sebanyak 2% tinggal bersama kakek/nenek, sebanyak 4% tinggal memiliki saudara tiri, serta sisanya tinggal bersama kerabat.
3) Beberapa anak jalanan menyatakan tinggal di rumah sendiri, yaitu sebanyak 51,6%, rumah sewa sebanyak 39,1%, tinggal sementara waktu (menumpang) di rumah orang lain sebanyak 8,6%, dan lain-lain sebanyak 0,8%.
4) Rumah yang ditempati pada umumnya berukuran kecil yaitu antara 4 meter persegi sampai 160 meter persegi, di mana mayoritas menempati rumah seluar 5 meter persegi yaitu sebanyak 12,5% dan 12 meter persegi sebanyak 7,8%. Hanya 2 orang responden yang tinggal di rumah yang cukup luas.
Dari hasil penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa kebanyakan anak jalanan adalah berasal dari keluarga yang memiliki tanggungan lebih dari 5 orang dan tinggal di rumah yang tidak memadai.
c. Kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan
Guna menunjang penyelenggaraan pendidikan maka pemerintah telah mengeluarkan berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, serta bentuk-bentuk peraturan yang secara hukum harus dilaksanakan untuk memperbaiki iklim pendidikan nasional. Peraturan tersebut meliputi sistem penyelenggaraan pendidikan, biaya pendidikan, karakteristik pendidik, dan bahkan kurikulum atau materi yang harus disampaikan kepada peserta didik.
Berkaitan dengan biaya pendidikan maka pemerintah telah menetapkan bahwa anggaran pendidikan nasional adalah sebesar 20% dari APBN dan APBD, dalam hal ini diwujudkan dengan adanya program kebijakan pemerintah yang bernama program Wajib Belajar 9 tahun. Pertama kali pendidikan dasar dicanangkan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nornor 10 Tahun 1973 dalam bentuk wajib belajar 6 tahun untuk sernua anak umur 7 sampai dengan 12 tahun. Sepuluh tahun setelah mencanangkan dan melaksanakan program wajib belajar 6 tahun di sekolah Dasar, pemerintah Indonesia selanjutnya mencanang­kan pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun meliputi Sekolah Dasar 6 tahun dan SLTP 3 tahun atau yang setara. Menyadari pentingnya peranan pendidikan dasar, maka pemerintah bertekad untuk melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun pada tahun pertama Repelita VI pada tanggal 2 Mei 1994, dan mengupayakan untuk menuntaskannya dalam tiga Pelita atau 15 tahun kemudian (Djoyonegoro:1994).
Pendidikan dasar 9 tahun secara langsung dapat menunjang fungsi-fungsi dasar pendidikan dalam:
1. Mencerdaskan kehidupan bangsa karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan golongan, agama, suku bangsa, dan status sosial-ekonomi.
2. Menyiapkan tenaga kerja industri melalui pengembangan kemampuan dan ketrampilan dasar untuk belajar, serta dapat menunjang terciptanya pemerataan kesempatan pendidikan kejuruan dan profesional lanjut.
3. Membina penguasaan Iptek untuk dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang memiliki kemampuan luar biasa.
Akan tetapi, pada kenyataannya, kebijakan pemerintah tersebut tidak dapat diselenggarakan dengan baik di mana terbukti bahwa beberapa tahun terakhir ini masyarakat semakin banyak yang mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak terjangkau oleh kemampuan masyarakat. Padahal semua orang mengetahui, dan bahkan seluruh dunia, bahwa pendidikan adalah public goods yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga harganya tidak boleh ditetapkan oleh mekanisme pasar, melainkan oleh keputusan politik. Sebagai salah satu public goods, pendidikan seharusnya terjangkau oleh seluruh warga Negara, termasuk yang miskin dan terlantar (Pamungkas, 2005).
Salah satu penyebab tidak dapat terealisasinya kebijakan pemerintah tersebut adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan privatisasi pendidikan. Sebenarnya, dalam hal ini privatisasi dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam mensukseskan pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya pemerintah kurang dapat mengelola privatisasi dengan baik sehingga privatisasi berdampak pada peningkatan komersialisasi sekolah.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa, dana untuk sektor pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia jauh dari perkiraan yang telah ditetapkan. Pada periode 1990-1995, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3% dari GDP, jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0%). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5%, dibandingkan Thailand (19,8%) dan Korea Selatan (17,7%) (Edi Suharto, 18 Februari 2004). Praktik ini semakin kontradiktif dengan amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 2, yang menetapkan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Lebih lanjut, pasal 31 ayat 4 mewajibkan pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN. Dengan demikian, menurut UUD 1945, pendidikan tingkat dasar (SD) dan menengah (SMP) seharusnya gratis. Data pengeluaran pemerintah di Asia secara rata-rata juga menunjukkan bahwa tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lainnya. Pada tahun 2001, anggaran pendidikan mencapai Rp. 13,5 trilyun atau 4,55% dari APBN, pada tahun 2001, turun menjadi Rp. 11,352 trilyun atau 3,76%, pada tahun 2003 turun lagi menjadi Rp. 11 trilyun, dan pada tahun 2004 disediakan dana sebesar Rp. 15,3 trilyun atau 3,49%.
Dengan adanya pihak swasta yang ikut mengatur jalannya pendidikan memang cukup menguntungkan, sehingga masyarakat ikut berperan serta dalam lembaga pendidikan. Namun hal ini pula yang menyebabkan makin mahalnya biaya pendidikan. Sekolah yang berorientasi bisnis, membentuk suatu bentuk komersialisme pada dunia pendidikan. Diskriminasi dan formalisme dalam kebijakan negara di sektor pendidikan mengakibatkan tidak semua anak bisa ikut belajar di sekolah. Hanya anak yang bisa memenuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh dan bisa belajar di sekolah. Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan salah satu faktor yang mendukung adanya diskriminasi pendidikan. Padahal, idealnya, penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan harus diselenggarakan tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, status sosial, dan kelas ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan. Hal ini karena semua warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Pandangan Masyarakat terhadap Anak Jalanan
Sebagian anak jalanan harus mempertahankan hidupnya dengan cara yang secara sosial kurang dan bahkan dianggap tidak dapat diterima. Hal ini karena tantangan yang dihadapi oleh anak jalanan pada umumnya memang berbeda dari kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dari stigma atau cap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku anak jalanan tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingannya dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada anak-anak tersebut dan bahkan, sebenarnya, perilaku anak-anak tersebut mencerminkan perilaku masyarakat dalam memperlakukannya, serta ‘harapan’ masyarakat terhadap perilakunya (Suyanto dan Sri Sanituti, 2001).
Berdasarkan perilakunya yang kadang tidak sesuai dengan tatanan normatif di masyarakat dan bahkan dianggap mengganggu ketertiban lingkungan maka banyak perlakuan kasar yang diberikan kepada anak-anak tersebut seperti merazia atau menertibkannya. Padahal, memperlakukan anak jalanan sebagai bagian dari kehidupan dunia kriminal dan kemudian merazianya demi ketertiban kota, mungkin sudah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat dan membuat pihak yang melakukan tindakan tersebut merasa telah berbuat sesuatu yang bermanfaat. Tapi, di sisi lain, jika tindakan tersebut dilakukan dengan hati nurani dan sikap empatif, maka perlakuan tersebut bukan merupakan perlakuan yang tepat dan bukan perlakuan yang dapat dianggap sebagai solusi dari sebuah pemasalahan. Bahkan perlakuan seperti itu akan menimbulkan permasalahan semakin berat, terutama bagi anak-anak jalanan tersebut.
Sementara dengan memberikan belas kasihan juga bukan merupakan solusi yang tepat karena anak-anak tersebut bukan anak-anak yang perlu dibelaskasihani, tetapi yang diperlukan adalah kebutuhan sebagaimana kebutuhan anak-anak pada umumnya, yaitu perlindungan, kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Umumnya, banyak yang memberikan perhatian dari masyarakat dan program sosial lain yang hanya bersifat pertolongan daripada sifat penerimaan. Padahal belas kasihan dan pertolongan tersebut bukan merupakan solusi yang tepat. Dengan segala keterbatasan dan himpitan hidup, anak-anak tersebut sudah terbiasa menjalani kerasnya kehidupan sehingga sudah tidak lagi memerlukan belas kasihan. Dengan keterbatasan tersebut anak-anak tetap survive dalam hidup, anak-anak tersebut memiliki daya juang dan daya tahan yang cukup tinggi dalam mengatasi kesukaran hidup. Dengan demikian, yang dibutuhkan dalam hal ini bukan belas kasihan, tetapi pengakuan, penerimaan, dan dukungan bagi kesetiaannya dalam menjalani kehidupan.
Penanganan terhadap Anak Jalanan
Melihat kenyataan di atas maka diperlukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus. Adapun alternatif model yang mungkin dapat di gunakan adalah sebagai berikut : Family base, Instutional base, Multi-system base.
Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam  membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan. Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak, akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.
Sumber:
Ditjen PLSP – DEPDIKNAS and UNESCO, National Policy Forum: Promotion of Improved Learning Opportunities for Street Children in Indonesia, Jakarta, 29 – 30 Januari 2005.
Edi Suharto Bahaya Sosial Privatisasi Pendidikan”, , International Policy Analyst, Central European University (CEU), Hungary, (OPINI Rabu, 18 Februari 2004), dipublikasikan secara online melalui <http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004021801205420>
Ibe Karyanto, , Penggalan Kisah Perjuangan Anak Pinggiran, Cetakan I, (Jakarta: Panitia Penghargaan untuk Anak Pinggiran 1998, 1998,) hal. 2.
Pamungkas, Sri Bintang, Membongkar Kebohongan Politik SBY – JK, 2005, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49, 2005), hal. 57.
Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi, Anak-anak yang Dilanggar Haknya: Potret Sosial Anak Rawan di Indonesia yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Cetakan I, Surabaya: Lutfansyah Mediatama, 2001, hal. 125.
Wardiman Djojonegoro, Kebijaksanaan Operasional Wajib Belajar 9 tahun Dalam Mengisi Pembangunan Berkesinambungan, Prisma, No. 5 Tahun 1994, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1994)

Komentar

Postingan Populer